Beranda | Artikel
Ayah Ajak Aku ke Surga
Rabu, 23 Mei 2018

Bismillah, wash-shalatu wassalaamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Kebahagiaan dan keberuntungan yang hakiki adalah ketika seseorang berhasil menapakkan kakinya di salah satu bagian kecil dari luasnya hamparan surga. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah sama antara penghuni Neraka dan penghuni Surga; Penghuni Surga itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al Hasyr : 20)

Semakin bertambah kebahagiaan tersebut, tatkala dirinya menikmati keindahan surga bersama keluarganya tercinta, bersama istri dan anak-anaknya. Ia mengajak keluarganya untuk membersamainya, menaiki surga yang lebih tinggi tingkatannya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),“Dan orang-orang yang beriman, serta orang-orang yang mengikuti anak cucu mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tidak mengurangi sedikitpun pahala amal mereka.” (QS. Ath Thur : 21)

Selagi anaknya beriman meskipun anak keturunan mereka lebih sedikit amalannya, maka mereka akan ditempatkan di surga yang lebih tinggi bersama orang tuanya.

Keshalihan seorang Ayah akan bermanfaat bagi anak di dunia dan akhirat. Ayah yang shalih akan semangat untuk mendidik dan menjaga keluarganya dari api neraka. Ayah yang shalih dapat mengajak anggota keluarganya untuk bisa menikmati surga yang lebih tinggi tingkatannya, biidznillah. Wajar saja jika seorang anak berkata kepada ayahnya dengan penuh harap; “Ayah, Ajak Aku ke Surga.”



Ayah Diperintahkan Untuk Menjaga Keluarga

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At Tahrim : 6). Dalam ayat ini, yang menjadi mukhatthab (objek pembicaraan) adalah seorang ayah sebagai pimpinan keluarga.

Al Baihaqi dalam Al Madkhal Ilas Sunan meriwayatkan perkataan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu tatkala menafsirkan ayat di atas, “Ajarilah mereka dan didiklah mereka.”

Said Ali Wahf Al Qahthani menegaskan, “Dapat disimpulkan bahwa ayah bertanggung jawab dalam mengajarkan kepada anak tentang urusan-urusan agama, meliputi hukum seputar rukun, wajib dan sunnah. Demikian pula urusan dunia yang akan mendatangkan kebaikan dan keberkahan bagi diri anak dan umat Islam.” (Al Hadyu An Nabawi fii Tarbiyatil Aulad fii Dhauil Qur’an wa Sunnah, hal. 128)

 

Ayah Adalah Kepala Sekolahnya

Sebagian orang ada yang berusaha mengelak dari tanggungjawab dalam mendidik anak. Kata sebagian  orang, ayah tipe seperti ini; “hanya ingin ‘enak’ namun lalai dari tanggungjawab dalam mendidik anak”. Mereka berdalih bahwa cukup ibu saja yang mendidik anaknya selaku ‘madrasatul ulaa’. Kita katakan: memang benar ibu sebagai sekolah pertama untuk anaknya, namun ayah adalah ‘Kepala Sekolah’-nya.

Oleh karenanya, tatkala dijumpai ada anak yang berkelakuan tidak baik, maka pada umumnya yang paling pertama dicurigai adalah ayahnya. Ibnu Qayyim Al Jauziyah mengatakan, “Betapa banyak orang yang memiliki anak yang sengsara di dunia dan akhirat akibat dari kelalaiannya, yang tidak mendidik anaknya dengan baik… Dengan demikian, apabila anda menemukan anak-anak dengan perangai yang rusak, maka anda akan mengetahui bahwa pada umumnya kerusakan perangai mereka tesebut bersumber dari ayahnya.” (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, hal 242)

Menjadi seorang ayah memang bukanlah perkara yang sederhana. Amanah kita sebagai ayah akan diminta pertanggungjawannya kelak. Oleh karenanya, butuh perjuangan dan belajar yang banyak untuk bisa menjadi ayah yang sesungguhnya, mengingat betapa pentingnya sosok ayah dalam tarbiyah anak Sebab anak akan terbentuk perangai mengikuti bayangan ayahnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang anak yang dilahirkan melainkan dalam keadaan fithroh. Orang tuanya-lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani ataupun Majusi.” (HR. Bukhari No 1358 dan Muslim No. 2658)

Peran ayah memang sangat vital dalam mendidik anak hingga kita dapati di dalam Al Qur’an pun memberikan banyak cuplikan kisah antara ayah dan anaknya. Semisal kisah Nabi Ibrahim yang begitu semangat mendoakan, memantau perkembangan anak hingga membersamai anaknya dalam ketaatan, ataupun Lukman Al Hakim yang memberikan nasihat-nasihat indah untuk anaknya.

 

Nafas Panjang Dalam Menasihati Anak

Abdurrazzaq Al Badr menuturkan, “Selayaknya ayah mesti senantiasa bersemangat untuk memberikan pesan kebaikan, nasihat maupun wasiat dimulai dari perkara yang pokok kemudian baru perkara di tingaktan bawahnya yang mengiringinya.” (Rakaaiz Tarbiyatil Abna, hal. 3)

Menasihati anak memang membutuhkan kesabaran dan nafas yang panjang. Lantas, adakah ayah sudah menyediakan waktu dan memanjangkan nafasnya untuk mengajarkan kebaikan? Adakah ayah sudah memanfaatkan kedekatan dengan anak sembari mendidik dan menasihatinya?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keteladanan agar kita memanfaatkan momentum ‘masa emas’ anak untuk menanamkan nilai kepada anak. Nabi menasihati tentang nilai-nilai keyakinan dan ketauhidan keapda Ibnu Abbas radhiyalllah ‘anhu tatkala beliau masih belia, “Wahai Nak, aku akan ajarkan kepadamu beberapa kalimat: ‘Jagalah Allah niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya kamu mendapati-Nya di hadapanmu. Bila kamu meminta, maka mintalah kepada Allah. Bila kamu memohon, maka mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa sekiranya seluruh umat itu berkumpul untuk memberikan suatu manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa memberikannya kecuali sesuatu yang telah ditetapkan Allah untukmu. Sekiranya mereka berkumpul untuk menimpakan suatu bahaya atas dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu menimpakannya kecuali sesuatu yang telah ditetapkan Allah atas dirimu. Pena telah diangkat dan lembar catatan telah kering.” (HR. Tirmidzi No. 2516, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)

Jangan terburu-buru membacanya, Wahai Para Ayah yang kini sudah teramat sibuk dengan gadget-nya…! Mari kita baca sekali lagi hadits Nabi diatas! Tentu kita akan mendapatkan faidah yang berlimpah tatkala Nabi memanfaatkan momen kebersamaan dengan menanamkan nilai aqidah dan keyakinan. Semua ini membuat kita tersadar betapa kita masih jauh dari ideal dalam menanamkan nilai pada anak-anak kita.

 

Keteladanan Sang Ayah

Musthafa Al Adawiy menuturkan, “Jika seorang anak melihat kebiasaan orang tuanya, maka dengan izin Allah anak tersebut akan meniru apa yang dilakukan orang tuanya. Jika anak melihat kedua orang tuanya shalat malam, menangis karena takut pada Allah, dan membaca Al Qur’an, niscaya anak akan bertanya-tanya, ‘Apa gerangan yang membuat ayahku bangun malam dan shalat, meninggalkan tempat tidur yang empuk lagi hangat, lantas kemudian menangis dalam khusyuk doa munajat dengan penuh rasa takut dan harap?’. Semua ini akan terpatri dalam pikiran sang anak, yang pada akhirnya ia akan meniru apa saja yang akan dilakukan orang tuanya.” (Fiqh Tarbiyatil Abna, hal. 25)

Sa’id bin Musayyib pernah berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, sungguh aku terus menambah shalatku tersebab dirimu.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, 1/467)

Sebagian ulama menjelaskan makna dari perkataan Sa’id bin Musayyib di atas, “Maknanya adalah aku memperbanyak sholat (untuk kebaikanmu) dan aku banyak mendoakanmu di dalam shalatku, wahai anakku.” (Fiah Tarbiyatil Abna, hal. 22)

Di sisi yang lain, anak-anak juga akan mudah meniru perilaku buruk orang tuanya. Betapa banyak anak-anak di zaman ini yang hafal lagu dangdut dan lagu cinta! Betapa banyak pula anak-anak yang –secara tidak sadar– diajari ayahnya untuk berdusta! “Nak, Ayah ingin tidur sejenak di kamar. Nanti kalau ada tamu mencari Ayah, bilang saja jika ayah sedang tidak ada di rumah.

Begitu pentingnya keteladanan ayah dalam mengajari dan mendidik anaknya. Bolehlah jadi anak kita begitu berat ketika disuruh mengerjakan ibadah, namun begitu mudah berbuat sesuatu yang salah, adalah dikarenakan kita yang ‘miskin keteladanan dalam kebaikan’ dan ‘berlimpah contoh dalam keburukan’. Wallahu musta’an.

 

Semua di Tangan Allah

Ibnu Qayyim Al Jauziah menerangkan, “Jika terdapat segala bentuk kebaikan maka hal tersebut berasal dari Allah. Taufik itu kuasanya di tangan Allah bukan di tangan seorang hamba.” (Al Fawaid, hal. 130)

Wahai Para Ayah, sudah selayaknya kita mendoakan kebaikan untuk diri kita dan anak-anak kita. Anak kita menjadi baik ataupun kita menjadi ayah yang baik, itu semua adalah taufik dari Allah Ta’ala. Semoga Allah berikan kita taufik agar kita bisa menjadi Ayah yang shalih, Ayah yang baik, yang sukses dalam mendidik anaknya dan berkmpul bersama mereka kelak di surga.

 

Penulis: Erlan Iskandar, ST (Alumnus Mahad Al-Ilmi Yogyakarta)

Murajaah: Ustadz Abu Salman


Artikel asli: https://buletin.muslim.or.id/ayah-ajak-aku-ke-surga/